Reportase Hari Keempat

Policy Course on Health System Transformation: Private Sector Engagement for Primary Care Led Integrated Health Care

28 November 2024

Ringkasan Hari ke 2 dan 3

28nov 1Pada hari keempat kursus kebijakan yang berlangsung pada 26 November 2024, Shita Dewi, selaku Peneliti dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, membuka sesi dengan memberikan ulasan dari pertemuan sebelumnya. Shita mengajak para peserta untuk berdiskusi lebih lanjut tentang topik yang telah dibahas sebelumnya dan menyoroti poin-poin penting yang disampaikan para narasumber.

 

 

Sistem Kontrak dalam Pelayanan Primer

28nov 1Pembicara selanjutnya adalah Prof. Laksono Trisnantoro, Direktur ANHSS dan Profesor Kebijakan serta Manajemen Kesehatan dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia yang menyampaikan sistem kontrak dalam pelayanan primer. Kerja sama antara sektor publik dan swasta dalam layanan kesehatan menjadi strategi penting untuk memperluas akses dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

Melalui kontrak formal, pemerintah dapat mengatur hubungan dengan penyedia layanan kesehatan swasta, termasuk mengatur cakupan, kualitas, dan kuantitas layanan yang diberikan. Kontrak ini juga menciptakan akuntabilitas melalui mekanisme penghargaan dan penalti, memungkinkan sektor swasta berkontribusi secara signifikan dalam mengisi kekurangan layanan kesehatan, terutama di wilayah yang kurang terlayani. Pendekatan ini mendukung tercapainya cakupan kesehatan universal (UHC), memastikan seluruh masyarakat memiliki akses ke layanan kesehatan tanpa beban finansial yang berat.

Kerja sama ini mendorong efisiensi melalui inovasi pembiayaan, seperti kontrak berbasis kinerja yang menghubungkan pembayaran dengan pencapaian target tertentu. Namun, pelaksanaannya menghadapi tantangan seperti dukungan politik yang terbatas, kendala manajerial di sektor swasta, dan kesulitan dalam menetapkan harga layanan yang tepat. Untuk mengatasinya, pemerintah perlu memperkuat kemampuan dalam menyusun dan mengawasi kontrak, serta membangun kepercayaan dengan mitra swasta. Dengan pengelolaan yang baik, kemitraan ini dapat menjadi solusi jangka panjang dalam memperbaiki sistem kesehatan masyarakat secara menyeluruh.

Sistem Kontrak dalam Pelayanan Primer: Studi Kasus Hong Kong

28nov 1Selanjutnya, pemateri kedua yaitu Research Assistant Professor Kailu Wang dari The Chinese University, Hong Kong yang menyampaikan sistem kontrak dalam pelayanan primer di Hong Kong. Sistem kesehatan Hong Kong merupakan kombinasi sektor publik dan swasta yang berfungsi saling melengkapi. Layanan publik, yang diawasi oleh Biro Kesehatan dan Otoritas Rumah Sakit, menyediakan perawatan primer seperti klinik rawat jalan, klinik spesialis, dan pusat kesehatan ibu serta anak, terutama untuk kelompok rentan seperti lansia, masyarakat berpenghasilan rendah, dan pasien dengan penyakit kronis.

Sementara itu, sektor swasta melayani kasus ringan hingga penyakit kronis sederhana serta mereka yang membutuhkan akses cepat atau layanan khusus. Sebagian penyedia layanan swasta juga berpartisipasi dalam program yang didanai pemerintah. Namun, pada 2019-2020, sebagian besar pendanaan kesehatan primer berasal dari sumber swasta, sementara dana publik lebih banyak dialokasikan untuk kesehatan sekunder dan tersier, menunjukkan rendahnya investasi publik di sektor kesehatan primer.

Berbagai tantangan dihadapi sistem kesehatan primer Hong Kong, seperti minimnya investasi publik di bidang perawatan primer dan preventif, segmentasi antara sektor publik dan swasta, serta ketidakefektifan peran dokter umum swasta sebagai penjaga gerbang perawatan. Masalah ini menyebabkan waktu tunggu panjang untuk layanan spesialis dan membebani sektor publik. Selain itu, rendahnya penggunaan sumber perawatan reguler berakibat pada kurangnya kontinuitas layanan kesehatan. Untuk mengatasi hal ini, Program Perawatan Bersama Penyakit Kronis (CDCC) diluncurkan pada 2023. Program ini dirancang untuk individu berusia 45 tahun ke atas tanpa riwayat diabetes atau hipertensi, dengan dua tahap utama: skrining dan pengobatan. Peserta membayar biaya konsultasi bersama, dan jika terdiagnosis, mereka diarahkan ke layanan tindak lanjut yang mencakup berbagai spesialisasi untuk memastikan perawatan yang komprehensif.

Implementasi, Pemantauan, dan Evaluasi

28nov 1Pemateri selanjutnya adalah Professor Eng-Kiong Yeoh yang memaparkan terkait implementasi, monitoring dan evaluasi di Hong Kong. Program “Voucher Pelayanan Kesehatan Lansia” pertama kali diperkenalkan pada 1 Januari 2009 dengan skema percontohan yang memberikan lima voucher senilai HK$50 setiap tahun kepada lansia berusia 70 tahun ke atas. Program ini bertujuan melengkapi layanan kesehatan publik dengan memberikan insentif finansial agar lansia dapat memilih layanan kesehatan swasta sesuai kebutuhan mereka, termasuk perawatan preventif.

Selain itu, program ini mendorong lansia untuk membangun hubungan jangka panjang dengan dokter keluarga di sektor swasta. Sejak diluncurkan, program ini mengalami beberapa perubahan, termasuk penurunan usia kelayakan menjadi 65 tahun pada 2017 dan peningkatan nilai voucher tahunan hingga HK$2.500 pada 2023. Voucher yang tidak terpakai dapat diakumulasi hingga batas tertentu, dan cakupan layanan yang dapat diakses juga diperluas, mencakup layanan dari optometrist, audiologis, ahli gizi, psikolog, serta peralatan medis seperti alat bantu dengar.

Mekanisme program melibatkan beberapa langkah, mulai dari lansia memilih penyedia layanan terdaftar hingga pengurangan saldo voucher melalui sistem eHealth setelah mendapatkan persetujuan pengguna. Data layanan yang diberikan juga dicatat untuk keperluan pelaporan. Selain itu, program ini dinilai melalui evaluasi sosial-ekonomi, teknis, dan yudisial untuk mengukur dampak serta kesesuaian kebijakan dengan standar hukum. Dalam penelitian implementasi, kerangka kerja seperti CFIR digunakan untuk mengidentifikasi faktor keberhasilan implementasi, sedangkan kerangka ERIC menawarkan strategi untuk mengatasi hambatan. Hasil implementasi dievaluasi berdasarkan kerangka Proctor, yang mencakup penerimaan, efektivitas, dan dampak kesehatan seperti kualitas hidup dan status kesehatan peserta.

Kemudian, Yeoh menyatakan jika secara struktural, keberhasilan implementasi program bergantung pada tiga aspek utama. Infrastruktur fisik memastikan fasilitas kesehatan yang memadai dan tata letak yang mendukung efisiensi operasional. Infrastruktur teknologi informasi, seperti sistem rekam medis elektronik, membantu koordinasi kerja dan pengambilan keputusan. Infrastruktur kerja meliputi pembagian tugas dan struktur organisasi yang jelas. Selain itu, koneksi relasional seperti hubungan formal-informal serta jaringan kerja internal dan eksternal turut berperan penting dalam meningkatkan kinerja dan efektivitas program secara keseluruhan.

 

Diskusi mengenai Tantangan dan Isu dalam Sistem Layanan Kesehatan Terpadu yang Digerakkan oleh Layanan Kesehatan Primer dan Keterlibatan Sektor Swasta dalam Konteks Negara

28nov 1Setelah istirahat, kegiatan dilanjutkan dengan pemaparan hasil diskusi dari para peserta yang telah dibagi menjadi kelompok berdasarkan negara. Masing-masing kelompok menampilkan paparan mengenai tantangan dalam integrasi pelayanan kesehatan. 

Kelompok pertama yaitu Malaysia yang menjelaskan jika sektor swasta memiliki peran penting dalam sistem kesehatan Malaysia. Sektor swasta mengoperasikan 62% dari fasilitas perawatan primer melalui klinik dokter umum swasta, menyediakan 35% dari tempat tidur rumah sakit nasional, dan menangani sekitar 45% dari kunjungan rawat jalan.

Selain itu, sektor swasta juga bermitra dengan pemerintah dalam berbagai bidang, seperti perawatan medis untuk pegawai negeri, outsourcing layanan non-klinis, berbagi peralatan medis khusus, dan program pelatihan bersama untuk tenaga kesehatan. Keterlibatan sektor swasta dalam sistem kesehatan terintegrasi memiliki dampak positif dan negatif.

Dampak positifnya meliputi peningkatan aksesibilitas layanan kesehatan, pengurangan beban sektor publik, peningkatan inovasi teknologi, dan peningkatan kualitas layanan melalui persaingan. Namun, keterlibatan sektor swasta juga menimbulkan tantangan seperti disparitas biaya antar sektor, fragmentasi informasi kesehatan, variasi standar kualitas, dan distribusi layanan yang tidak merata.

Untuk meningkatkan integrasi sektor swasta dalam sistem kesehatan, diperlukan reformasi kebijakan, termasuk penyelarasan regulasi, standarisasi harga, dan transparansi biaya layanan. Pengembangan sistem terintegrasi melalui platform berbagi data juga penting untuk memastikan kontinuitas perawatan. Insentif terarah, seperti insentif finansial dan kebijakan pendukung, dapat mendorong fasilitas swasta menjangkau daerah terpencil, serta memperluas kemitraan sektor publik-swasta melalui program seperti PEKA B40 dan Skim Perubatan MADANI.

Kelompok kedua adalah Thailand.  Sistem asuransi kesehatan di Thailand terdiri dari beberapa skema utama, seperti CSMBS untuk pegawai negeri, SSS untuk pekerja formal di sektor swasta, dan UCS yang mencakup sebagian besar penduduk Thailand. Pengelolaan skema ini berada di bawah National Health Security Office (NHSO) dengan pendanaan berasal dari anggaran primer, anggaran ekstra, dan pendanaan lokal.

Anggaran primer mencakup capitation untuk layanan kesehatan universal (UC) dan non-capitation untuk kebutuhan kesehatan lainnya. Dana tersebut dialokasikan kepada berbagai penyedia layanan, termasuk rumah sakit, klinik, apotek, dan fasilitas kesehatan tradisional, untuk mendukung berbagai jenis layanan, mulai dari perawatan primer hingga perawatan paliatif. Sistem pendanaan yang kompleks ini bertujuan memastikan aksesibilitas dan kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat.

Meskipun sistem ini mencakup banyak aspek, terdapat sejumlah tantangan utama seperti waktu persetujuan yang lama, keterbatasan lokasi layanan, dan ketidakseimbangan beban kerja penyedia. Implementasi layanan terintegrasi juga dapat memicu kendala seperti perubahan proses pembayaran dan kehilangan data pasien. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan strategi komprehensif guna memastikan keberhasilan layanan kesehatan terintegrasi. Di sisi lain, sektor swasta memainkan peran penting dengan menyediakan layanan darurat, promosi kesehatan, inovasi, dan berbagai layanan khusus seperti laboratorium, farmasi, dan fisioterapi. Keterlibatan sektor swasta ini tidak hanya meningkatkan aksesibilitas dan kualitas layanan, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi negara.

28nov 1Kelompok ketiga adalah Indonesia. Indonesia terbagi menjadi 4 kelompok yang memaparkan topik yang berbeda-beda. Kelompok pertama memaparkan terkait hipertensi. Meskipun sektor swasta memiliki potensi besar dalam mendukung manajemen hipertensi, keterlibatannya dalam layanan kesehatan primer saat ini masih terbatas. Beberapa hambatan yang menghalangi kolaborasi yang efektif antara sektor publik dan swasta meliputi kurangnya strategi keterlibatan yang terstruktur, regulasi yang ketat, dan kendala finansial.

Untuk mendorong peran sektor swasta, diperlukan langkah-langkah strategis seperti meningkatkan program skrining hipertensi di fasilitas kesehatan swasta, memperluas penggunaan aplikasi ASIK di kalangan penyedia layanan kesehatan swasta, menjamin ketersediaan obat-obatan dan peralatan yang dibutuhkan, serta meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan. Dengan mengatasi hambatan-hambatan tersebut dan mengimplementasikan strategi yang tepat, pengelolaan hipertensi dapat menjadi lebih terintegrasi dan efektif, sehingga berdampak positif pada peningkatan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

28nov 1Kelompok kedua memaparkan kolaborasi puskesmas dengan klinik swasta. Kolaborasi antara sektor publik dan swasta menghadapi tantangan seperti komunikasi yang kurang efektif antara puskesmas dan klinik swasta akibat keterbatasan sumber daya, serta sulitnya akses pasokan obat bagi klinik swasta.

Upaya peningkatan kerja sama dilakukan melalui platform digital SATUSEHAT untuk pertukaran data, pertemuan rutin untuk memperkuat kolaborasi, dan pengadaan farmasi terintegrasi guna meningkatkan akses layanan dan efisiensi biaya. Meskipun koordinasi masih menjadi tantangan, teknologi digital menawarkan solusi potensial untuk mengatasinya.

 

 

28nov 1Kelompok ketiga memaparkan keterlibatan sektor swasta dalam promosi kesehatan untuk memperkuat layanan kesehatan primer di Indonesia. Di Indonesia, puskesmas melayani sekitar 30.000-50.000 penduduk dan bertanggung jawab atas pengelolaan program kesehatan seperti imunisasi, gizi, dan sanitasi.

Beberapa tantangan dalam sistem kesehatan primer di Indonesia meliputi meningkatnya beban penyakit tidak menular dan masalah kesehatan mental pada generasi muda, kurangnya sumber daya di fasilitas kesehatan primer, ketidaksesuaian model layanan kesehatan primer dengan kebutuhan masyarakat, dan kurangnya upaya promotif dan preventif di sektor swasta. Oleh karena itu, diperlukan redistribusi keanggotaan asuransi kesehatan untuk mengurangi beban puskesmas dan mengintegrasikan layanan primer dengan rumah sakit dalam hal promotif, preventif, dan rehabilitatif.

Kelompok keempat memaparkan terkait keterlibatan sektor swasta dalam pelayanan KIA. Saat ini, banyak praktik bidan mandiri yang memiliki alat USG, meskipun tidak memiliki kewenangan penuh untuk mengoperasikannya. Hal ini menimbulkan dilema dalam pelayanan kesehatan, khususnya bagi pasien JKN. Sistem klaim ANC di puskesmas yang mengharuskan kunjungan lengkap (1-6 kali) menciptakan celah bagi kerja sama yang lebih baik antara pemerintah dan bidan mandiri.

Pemerintah, dalam hal ini dinas kesehatan, dapat mengajak kerja sama bidan mandiri untuk memberikan pelayanan USG sebagai bagian dari paket ANC yang lengkap. Dengan demikian, bidan mandiri dapat berperan aktif dalam memastikan setiap ibu hamil mendapatkan pelayanan yang komprehensif. Sebagai imbalan, pemerintah dapat memberikan pembagian klaim dari BPJS Kesehatan kepada bidan mandiri. Mekanisme pembagian persentase dan bentuk kerja sama yang lebih rinci dapat diatur oleh dinas kesehatan setempat, bahkan melibatkan Bupati/Walikota untuk mengeluarkan Surat Keputusan sebagai payung hukum yang kuat. Kerja sama ini diharapkan dapat meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu hamil, sekaligus memberikan manfaat finansial bagi bidan mandiri.

28nov 1Pemaparan dilanjutkan dengan kelompok selanjutnya yaitu China. Sistem kesehatan di Shanghai dan Hong Kong memiliki perbedaan yang signifikan. Shanghai mengadopsi sistem tiga tingkat, dimana layanan kesehatan primer diberikan oleh pusat kesehatan masyarakat, layanan sekunder oleh rumah sakit tingkat kabupaten, dan layanan tersier oleh rumah sakit besar di perkotaan.

Di sisi lain, Hong Kong memiliki sistem yang lebih terintegrasi dengan layanan primer, sekunder, dan tersier. Dalam hal penyedia layanan, baik Shanghai maupun Hong Kong memiliki fasilitas kesehatan publik dan swasta. Namun, di Shanghai, rumah sakit publik masih mendominasi, sedangkan di Hong Kong, sektor swasta memiliki peran yang lebih besar, terutama dalam menyediakan layanan khusus. Keduanya juga memiliki inisiatif kemitraan publik-swasta (public private partnership/ PPP) untuk meningkatkan akses layanan kesehatan.

Tantangan sistem kesehatan yang dihadapi di Shanghai seperti ketidakseimbangan distribusi sumber daya kesehatan, kapasitas layanan primer yang tidak memadai, kurangnya insentif untuk institusi primer, dan kurangnya integrasi informasi medis. Sedangkan di Hong Kong, tantangannya meliputi beban permintaan yang tinggi pada layanan kesehatan publik, keterbatasan sumber daya, dan kurangnya kepercayaan pasien terhadap layanan primer. Keduanya juga menghadapi tantangan dalam hal kualitas layanan, akuntabilitas, dan integrasi berbagai komponen sistem kesehatan. Mengatasi tantangan-tantangan ini merupakan kunci untuk membangun sistem kesehatan terpadu yang efektif dan efisien di kedua kota tersebut.

Reporter:

Monita Destiwi, Ester Febe dan Laksono Trisnantoro (PKMK UGM)

Link Terkait

 

 

 

 

 

Reportase Hari Ketiga

Policy Course on Health System Transformation: Private Sector Engagement for Primary Care Led Integrated Health Care

27 November 2024

Field Visit: Integrated Primary Care and Hospital Facility Siriraj H Solutions

27nov 1Pada hari ketiga kursus kebijakan (27/11/2024), para peserta berkesempatan untuk mengikuti kunjungan lapangan ke Siriraj H Solution. Namun, sebelum melakukan kunjungan, para peserta diajak untuk mengenal lebih dalam terkait Siriraj H Solution melalui pemaparan oleh dr. Pochamana Phisalprapa, PhD lulusan Chulalongkorn University, dan sekaligus salah satu Direktur di Siriraj Hospital.

Pemaparan meliputi penjelasan berdirinya Siriraj H Solution dan kaitannya dengan Rumah Sakit Siriraj. RS Siriraj adalah rumah sakit umum terbesar di Thailand. Dengan kapasitas lebih dari 2.000 tempat tidur dan dikunjungi oleh lebih dari tiga juta pasien per tahun. Rumah Sakit Siriraj adalah salah satu pusat medis terbesar dan tersibuk di Asia Tenggara. Rumah sakit ini merupakan salah satu pusat rujukan akhir untuk penyakit yang rumit dan langka dari semua rumah sakit di Thailand.

Pengembangan Private Wing di RS Siriraj (http://www.siphhospital.com/en/home)

27nov 2Di RS Siriraj, dikembangkan sebuah unit khusus untuk kelompok kelas menengah ke atas yang merupakan Private Wing dari Siriraj Hospital. Private Wing RS Siriraj merupakan RS yang otonom. Private Wing ini RS Siriraj berupa ditujukan untuk mendapatkan dana bagi FK dan dapat memberi subsidi silang ke RS Siriraj yang menerima pasien universal health coverage (UHC) dan dibangun sekitar 15 tahun yang lalu. Dengan demikian, RS Siriraj melihat peluang pengembangan pasien non-UHC untuk menambah revenue-nya. Private Wing tidak menerima pasien-pasien UHC. Private Wing ini dirancang untuk memenuhi permintaan masyarakat Thailand yang mempunyai dana. Mempunyai pasar yang sama dengan RS-RS swasta seperti Burungrad Hospital.

Pengembangan Klinik H Solution setahun yang lalu.

27nov 327nov 4Untuk memperkuat ekosistem kesehatan yang lebih luas, Rumah Sakit Siriraj mengembangkan Siriraj H Solutions yang merupakan klinik milik RS di tempat terpisah.

H Solutions Clinic terpisaj sekitar 7 km dari RS induknya. Keduanya sama-sama berada di tepi Sunga Chao Phraya yang legendaris di Bangkok. Siriraj H Solutions lahir dari warisan dan keahlian yang telah dibangun oleh Rumah Sakit Siriraj selama bertahun-tahun. Keduanya memiliki akar yang sama dalam memberikan pelayanan kesehatan berkualitas tinggi.

Meskipun memiliki akar yang sama, keduanya memiliki fokus yang berbeda. Rumah Sakit Siriraj lebih berfokus pada perawatan penyakit, terutama dalam kondisi akut atau darurat. Sementara itu, Siriraj H Solutions lebih mengarah pada aspek preventif, yakni menjaga kesehatan agar tidak sakit, dan memberikan pelayanan yang lebih personal dan komprehensif. Keduanya saling melengkapi dan bersinergi misalnya pasien yang telah melakukan pemeriksaan kesehatan di Siriraj H Solutions dan memerlukan perawatan lebih lanjut dapat dirujuk ke Rumah Sakit Siriraj.

Letak Klinik H Solution RS Siriraj berada di Lantai 5 sebuah mall di Bangkok, bersebelahan dengan Icon Siam yang sangat ramai di tepi sungai Chao Phraya

Apa yang dilakukan di H Solution?

27nov 5Siriraj H Solutions menargetkan pelanggan dengan berbagai usia, baik yang ingin menjaga kesehatan secara preventif maupun mereka yang memiliki penyakit non-komunikabel (NCD). Pelayanan yang ditawarkan meliputi pemeriksaan inovatif, pengobatan preventif, keseimbangan pikiran dan tubuh, serta terapi revitalisasi dan anti-aging. Seluruh layanan ini didukung oleh tim dokter berpengalaman, teknologi medis inovatif, dan pendekatan yang berpusat pada pelanggan.

Siriraj H Solutions merupakan sebuah klinik untuk pusat pelayanan kesehatan pencegahan dan pelayanan kesehatan yang integratif, termasuk untuk pelayanan kesehatan tradisional.

Berbagai pelayanan yang dilakukan?  https://sirirajhsolutions.com/en

27nov 6Konsep pelayanan ini bertujuan untuk mendeteksi penyakit lebih awal, melakukan intervensi proaktif, dan memberikan solusi perawatan yang cerdas. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Siriraj H Solutions adalah perwujudan dari komitmen RS Siriraj untuk memberikan layanan kesehatan yang lebih lengkap dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern, yaitu layanan yang tidak hanya fokus pada pengobatan, tetapi juga pada pencegahan dan peningkatan kualitas hidup

Siriraj H Solutions merupakan sebuah pusat kesehatan inovatif yang berlokasi di lantai 5 gedung ICS Lifestyle Complex. Dengan luas sekitar 300 meter persegi, pusat kesehatan ini menawarkan berbagai layanan kesehatan preventif dan gaya hidup sehat yang komprehensif. Siriraj H Solutions didesain untuk suasana yang modern dan menenangkan.

Proses registrasi, pembayaran, dan verifikasi asuransi berjalan lancar berkat sistem yang efisien. Biaya administrasi yang terjangkau, sebesar 300 Baht per orang, menjadi daya tarik tersendiri, terutama mengingat kualitas layanan yang ditawarkan.

Fokus pada Kesehatan dan Keseimbangan

27nov 8Salah satu fokus utama Siriraj H Solutions pada kesehatan preventif dan keseimbangan hidup. Hal ini tercermin dalam berbagai fasilitas dan layanan yang tersedia.

Salah satunya adalah ruang sport performance care yang dilengkapi dengan peralatan olahraga modern dan didampingi oleh spesialis olahraga. Pengunjung dapat melakukan berbagai aktivitas fisik, mulai dari latihan kekuatan hingga peregangan, di bawah pengawasan profesional.

Bagi mereka yang ingin menjaga kesehatan jantung dan pembuluh darah, tersedia layanan pemeriksaan blood vessel dan spiro testing. Pemeriksaan fibro scan juga dapat dilakukan untuk mendeteksi penyakit hati secara dini. Perempuan juga dapat memanfaatkan layanan 3D mammogram untuk deteksi dini kanker payudara.

 

Khusus untuk Kecantikan

Selain fokus pada kesehatan fisik, Siriraj H Solutions juga menawarkan berbagai perawatan kecantikan. Di lantai 2, pengunjung dapat menemukan berbagai pilihan perawatan, mulai dari botox hingga laser. Produk perawatan kulit lokal yang berkualitas juga tersedia untuk dibeli juga Herbal Medicine.

Pusat Diagnostik

27nov 9Walaupun berstatus sebuah klinik, Siriraj H Solutions menyediakan fasilitas diagnostik yang sangat bagus. Saat ini semakin banyak masyarakat Thailand yang mengunakan pendekatan proaktif dan teknologi modern untuk aktif dalam mengelola perjalanan kesehatan pribadi mereka menuju kesejahteraan. Rumah Sakit Siriraj telah membuat visi masa depan dimana kesehatan proaktif menjadi pusat perhatian. Rumah Sakit Siriraj menganut gagasan bahwa individu sebaiknya berdaya, yang dipersenjatai dengan pengetahuan dan alat-alat mutakhir. Menariknya di klinik ini tersedia berbagai peralatan diagnostik mutakhir seperti CT Scan 400 slice, X Ray, sampai ke Breast Cancer diagnostic facilities.

 

SDM Berkualitas dan Layanan Prima

Salah satu keunggulan Sirraj H Solutions adalah tenaga kesehatannya yang berasal dari Rumah Sakit Siriraj, salah satu rumah sakit terkemuka di Thailand. Para tenaga kesehatan ini tidak hanya memiliki kompetensi yang tinggi, tetapi juga memiliki semangat untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pasien.

Manajemen Siriraj H Solutions sangat memperhatikan kesejahteraan para tenaga kesehatannya. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa mereka dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien. Para tenaga kesehatan diberi kebebasan untuk memilih tempat tugas, baik di Siriraj H Solutions maupun di Rumah Sakit Siriraj, sesuai dengan minat dan keahlian masing-masing.

Potensi Layanan Lebih dari 1000 Orang per Hari

Meskipun saat ini Siriraj H Solutions membatasi jumlah pengunjung menjadi 1000 orang per hari, sebenarnya pusat kesehatan ini memiliki kapasitas untuk melayani lebih banyak lagi. Namun, demi menjaga kualitas layanan, jumlah pengunjung dibatasi.

Kemudian darimana sumber dananya?

Pendanaan di Siriraj H Solutions ini berasal dari swasta. Project ini merupakan inovasi untuk menyehatkan rakyat dengan dana dari masyarakat sesuai kebutuhan dan keinginan masyarakat. yang menarik sebagian dana pengembangan berasal dari filantropi. Ada sebuah value yang dikembangkan bahwa pelayanan kesehatan untuk masyarakat menengah atas ini dilakukan agar tersedia lebih banyak dana untuk membantu masyarakat miskin, atau memberikan subsidi silang ke pelayanan bagi kelompok miskin yang negatif keuangannya. RS Siriraj tidak dituntut untuk mencari untung, namun dituntut untuk sehat secara keuangan.

Reporter:
Monita Destiwi, Ester Febe dan Laksono Trisnantoro (PKMK UGM)

Link Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Reportase Hari Kedua

Policy Course on Health System Transformation: Private Sector Engagement for Primary Care Led Integrated Health Care

26 November 2024

Summary Hari Pertama

26nov 1Pada hari kedua kursus kebijakan yang berlangsung pada 26 November 2024, Shita Dewi, selaku Peneliti dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, membuka sesi dengan memberikan ulasan dari pertemuan sebelumnya. Dalam ulasannya, pihaknya menyoroti poin-poin penting yang disampaikan para narasumber dan mengundang peserta untuk berdiskusi lebih lanjut tentang topik yang telah dibahas sebelumnya.

Selain memberikan ulasan, Shita juga memaparkan agenda hari kedua, yang mencakup topik-topik menarik terkait pengalaman dari China, Malaysia, dan Thailand. Fokus utama pembahasan adalah mekanisme belanja dan pengorganisasian untuk integrasi layanan kesehatan, yang akan disampaikan oleh narasumber dari berbagai negara tersebut.

 

SESI PAGI

Sesi 1. Organization, Functional, Professional & Clinical Modalities and Mechanisms: Purchasing for Integrated Seamless Health Care; Primary Care Package, Specialist and Hospital Care

26nov 1Pembicara selanjutnya adalah Professor Laksono Trisnantoro, Direktur ANHSS dan Profesor Kebijakan serta Manajemen Kesehatan dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia yang memaparkan terkait belanja kesehatan strategis atau strategic health purchasing. Laksono membahas pentingnya strategic purchasing dalam sistem kesehatan untuk memastikan efisiensi, keadilan, dan kualitas layanan. Pendekatan ini melibatkan pengambilan keputusan strategis tentang layanan yang dibeli, seleksi penyedia, dan mekanisme pembayaran. Di Indonesia, BPJS Kesehatan memainkan peran kunci sebagai pembeli utama layanan kesehatan, menghadapi tantangan seperti distribusi fasilitas yang tidak merata, lemahnya pengawasan kualitas, serta risiko fraud dalam kontrak. Salah satu langkah penting adalah menerapkan sistem insentif berbasis kinerja untuk meningkatkan kualitas pelayanan, misalnya dalam pengelolaan diabetes, yang bertujuan menurunkan komplikasi dan meningkatkan hasil pengobatan.

Strategic purchasing menekankan pentingnya pergerakan dari pendekatan pasif ke strategi aktif, yang mencakup kontrak selektif, sistem insentif, dan pemantauan kualitas. Mechanism Active Purchasing memungkinkan pengalokasian sumber daya yang lebih efektif, serta peningkatan akses dan efisiensi layanan kesehatan, terutama di sektor primer dan rujukan. Namun, hal ini juga memerlukan regulasi yang kuat, integrasi program kesehatan masyarakat, serta keterlibatan masyarakat dalam menentukan kebutuhan kesehatan. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan peningkatan kapasitas pemangku kebijakan dan penguatan akuntabilitas sistem kesehatan.

Sesi 2. Country experiences

Purchasing and Organization Mechanisms for Integrated Seamless Health Care

26nov 1Pemateri pertama adalah Professor Ying Yao Chen dari School of Public Health, Fudan University dari China. Sejak 2009, China telah mencatat kemajuan besar dalam reformasi sistem kesehatannya, dengan hampir seluruh penduduknya kini tercakup dalam sistem asuransi kesehatan sosial dan paket layanan kesehatan publik dasar. Langkah ini telah mengurangi kebutuhan kesehatan yang tidak terpenuhi dan memperkecil kesenjangan dalam akses layanan. Namun demikian, reformasi lebih lanjut tetap diperlukan, terutama untuk meningkatkan kualitas layanan rumah sakit publik, memanfaatkan sumber daya kesehatan secara optimal, serta mengintegrasikan sistem pelayanan dan pembiayaan kesehatan.

Meski cakupan asuransi hampir universal telah memperluas akses ke layanan kesehatan, perlindungan finansial bagi masyarakat miskin harus ditingkatkan untuk menghindari risiko pengeluaran kesehatan yang memberatkan. Selain itu, efektivitas belanja kesehatan memerlukan penguatan efisiensi sistem, pengembangan layanan kesehatan primer, dan reformasi mekanisme pembayaran penyedia layanan secara menyeluruh.

China juga telah mengembangkan sistem layanan kesehatan publik yang mencakup layanan dasar hingga khusus, dengan sektor publik sebagai aktor utama, meskipun sektor swasta terus berkembang. Upaya integrasi antara sektor publik dan swasta, rumah sakit dan layanan primer, serta aspek klinis dan preventif sedang dilaksanakan. Untuk mendukung integrasi ini, insentif seperti penggantian biaya untuk layanan terpadu mulai diterapkan. Selain itu, layanan kesehatan masyarakat terus diperkuat, terutama dalam pencegahan dan pengendalian penyakit menular, kesehatan ibu dan anak, manajemen penyakit tidak menular, serta perawatan bagi lansia.


Purchasing, Professional and Clinical Mechanisms for Integrated Seamless Health Care

26nov 1Pemateri kedua adalah Professor Dr Sharifa Ezat Wan Puteh selaku Professor of Public Health, Department of Community Health, National University of Malaysia. Sistem kesehatan Malaysia menghadapi tantangan kompleks, mulai dari biaya kesehatan yang tinggi hingga meningkatnya masalah obesitas dan diabetes, yang membebani masyarakat, terutama kelompok tanpa penghasilan tetap atau tanpa asuransi. Meskipun sektor swasta memainkan peran penting dengan kualitas layanan yang dianggap lebih baik, hal ini menciptakan ketimpangan akses bagi masyarakat kurang mampu. Selain itu, pengadaan sumber daya kesehatan masih terganjal oleh kurangnya transparansi, keterbatasan anggaran untuk penelitian, serta peraturan yang kaku, khususnya di rumah sakit pendidikan. Pemerintah memiliki peran sentral dalam mengatasi tantangan ini dengan langkah-langkah seperti memperkuat sistem rujukan, meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan di daerah terpencil, memperluas aksesibilitas layanan kesehatan, dan mengintegrasikan sistem informasi kesehatan.

Salah satu pendekatan penting adalah penerapan pembelian strategis (strategic health purchasing), yang melibatkan pemilihan penyedia layanan berkualitas, negosiasi harga obat dan alat kesehatan, serta mendorong inovasi teknologi. Namun, implementasi mekanisme ini terkendala oleh kurangnya data akurat, kapasitas sumber daya manusia yang terbatas, dan regulasi yang kompleks. Kerja sama erat antara sektor publik dan swasta, pengembangan infrastruktur digital, serta transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan sangat diperlukan untuk mendukung efisiensi, mengurangi korupsi, dan mencapai Cakupan Kesehatan Universal (universal health coverage/ UHC).


Purchasing and Organization Mechanism for Integrated Seamless Health Care: The Case of Universal Coverage Scheme (UCS) in Thailand

26nov 1Pemateri ketiga adalah Waraporn Suwanwela selaku Deputy Secretary-General, National Health Security Office, Thailand. Thailand memiliki berbagai skema asuransi kesehatan publik untuk memastikan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan, termasuk CSMBS untuk pegawai negeri dan keluarganya sejak 1963 (mencakup 8% populasi), SSS untuk pekerja sektor swasta sejak 1990 (18%), UCS sebagai skema terbesar sejak 2002 (72%), dan skema khusus untuk pegawai pemerintah tertentu (2%).

Pemberlakuan Undang-Undang Jaminan Kesehatan Nasional (UU JKN) pada 2002 bertujuan untuk menyediakan jaminan kesehatan universal, melindungi masyarakat miskin dari risiko keuangan, dan memastikan kualitas serta aksesibilitas layanan kesehatan. UU ini membentuk lembaga pengelola seperti Badan Jaminan Kesehatan Nasional dan Kantor Jaminan Kesehatan Nasional, mengatur pengelolaan dana, fasilitas pelayanan, standar mutu, dan perlindungan hak peserta. Di bawah UCS, mekanisme pembelian strategis diterapkan dengan desain paket manfaat kesehatan, negosiasi dengan penyedia layanan, alokasi anggaran berdasarkan kebutuhan, dan metode pembayaran berbasis capitation atau fee-for-service. Pendekatan ini memungkinkan efisiensi alokasi dana, perluasan akses terhadap layanan berkualitas, dan peningkatan kepuasan masyarakat.

 

Reporter: Monita Destiwi dan Ester Febe (PKMK UGM)

 

Link Terkait

 

 

Hari kelima: The 8th Global Symposium on Health Systems Research

Jumat, 22 November 2024

Knowledge for Just Health Systems

​​Sesi pleno hari ini, sekaligus menandai penutupan kegiatan HSR2024, mengambil fokus “pengetahuan untuk sistem kesehatan yang berkeadilan”.  Sesi ini diketuai oleh Dr Ana Amaya (associate professor, Pace University) dan dimoderatori oleh Dr Prashanth Srinivas (Institute of Public Health Bengaluru). Sesi ini menghadirkan empat panelis, yakni Dr Seye Abimbola (associate professor, School of Public Health University of Sydney), Professor Chelse Watego (profesor indigenous health, Queensland University of Technology), Dr Margareta Matache (Department of Social and Behavioral Sciences, Harvard T.H. Chan School of Public Health), dan Fatuma Guleid (mahasiswa doktoral KEMRI Wellcome Trust). Keempat panelis memaparkan topik seputar empat poin agenda komunitas penelitian sistem kesehatan (health systems research/HSR), kemanusiaan dan kesejahteraan berbasis kearifan lokal (indigenist health humanity), rasisme dan kaitannya dalam produksi pengetahuan dan sistem kesehatan, serta kuasa (power) dalam translasi pengetahuan.

hsr26Abimbola sebagai panelis pertama menjelaskan empat poin agenda komunitas HSR, yakni transparansi, non-ekstraktif, demokratisasi, dan transformasi. Transparansi adalah hal yang penting dalam suatu penelitian karena memproduksi pengetahuan berarti menciptakan sebuah sistem kesehatan yang adil. Non-ekstraktif artinya penelitian tidak boleh bersifat eksploitatif.

Seringkali peneliti memulai dari sudut pandangnya sendiri, bukan dari sudut pandang subjek yang menjadi penerima manfaat penelitian tersebut. Abimbola dengan tegas mengkritik peneliti yang sering kali menikmati kekuasaan yang mereka miliki. Abimbola mengingatkan bahwa peneliti memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Transformasi seharusnya menjadi tujuan utama penelitian, yakni untuk mencari keadilan atas nama mereka yang termarjinalkan. Peneliti tidak seharusnya sekadar memaparkan masalah, melainkan juga harus menantang struktur yang menciptakan masalah tersebut.

hsr26Watego sebagai panelis kedua membuka paparan dengan menceritakan kegelisahannya sebagai bagian dari komunitas Aboriginal and Torres Strait Islander (ATSI), masyarakat asli di Australia. Watego mengkritik bahwasanya komunitas ATSI sering dipandang sebagai komunitas yang “bermasalah” secara kesehatan dan “kurang manusiawi”. Pandangan ini menciptakan konsekuensi material yang nyata.

Watego mengatakan bahwa kesetaraan kesehatan harus menjadi bagian integral dari penelitian dan penyediaan layanan. Selain itu, struktur yang menciptakan masalah tersebut juga harus disoroti dan dikritisi. Watego dengan tegas mengkritik pendekatan kesehatan yang melanggengkan logika rasisme, yang sering kali memperparah ketidakadilan. Pendekatan positivis dalam penelitian juga kerap memperburuk masalah ini.

Watego menjelaskan tentang Inala Manifesto sebagai visi transformatif penelitian kesehatan indigenous, yang menekankan pentingnya pengetahuan, pengalaman, dan kedaulatan masyarakat asli. Menutup pemaparannya, Watego mengingatkan seluruh peneliti untuk bertindak lebih dari sekadar membuat produk translasi pengetahuan, namun juga secara aktif menantang sistem yang menciptakan ketidakadilan. Terkait dengan kesehatan indigenous, Watego mengatakan bahwa kedaulatan masyarakat asli harus hadir di setiap bukti penelitian dan pada setiap waktu.

hsr24 1Panelis ketiga, yakni Matache, memaparkan tentang rasisme dalam sistem kesehatan dan penelitian. Baginya, penelitian yang membandingkan kelompok-kelompok tertentu atau menggunakan sampel genetik kecil sering kali menyebabkan segregasi komunitas. Selain itu, pendekatan perilaku dan intervensi kesehatan sering mengasumsikan bahwa individu memiliki gaya hidup yang homogen, sehingga mem-perpetuasi deskripsi rasial yang bermuatan diskriminasi.

Selain itu, pemodelan kemiskinan seringkali belum mengkaji etnisitas sebagai proksi rasisme dan rasisme sebagai penentu struktural kesehatan. Matache menegaskan bahwa untuk mengatasi ketidakadilan kesehatan, kerangka baru yang menekankan antirasisme, non-ekstraktivisme, dan penghormatan terhadap hak diperlukan. Penelitian harus melibatkan dan memberi ruang kepada cendekiawan dari komunitas yang terkena dampak kesehatan untuk memimpin, sehingga perubahan transformatif dan sistem kesehatan yang adil dapat tercipta.

hsr24 1Guleid sebagai panelis keempat sekaligus mewakili fellowship emerging voices for global health, mengatakan bahwa translasi bukti penelitian selalu berputar di pertanyaan yang sama, yakni “Bagaimana pembuat kebijakan menggunakan hasil penelitian?” Guleid mengajak komunitas peneliti untuk merefleksi, apakah dengan pertanyaan ini, peneliti telah menangani isu yang penting dan menciptakan dampak nyata.

Guleid memberikan contoh bahwa kendati berbagai policy brief telah diproduksi, perhatian banyak pemerintah di berbagai belahan dunia belum pada isu keadilan kesehatan. Senada dengan panelis lainnya, Guleid mengajak komunitas peneliti untuk mengkritisi kekuasaan melanggengkan ketidakadilan. Guleid memberi contoh strategi desain anggaran partisipatif di Brasil dan aksi kolektif sebagai upaya untuk memberdayakan, mengatasi ketidakadilan, dan mendorong perubahan.

Sesi ini kemudian dilanjutkan dengan upacara penutupan, di mana salah satunya berisi pengumuman lokasi dan topik HSR selanjutnya yang akan diselenggarakan di tahun 2026. Dengan diakhirinya kegiatan HSR2024 di Nagasaki, diharapkan semangat untuk berkontribusi terhadap perubahan nyata melalui aksi kolektif, kritis, dan reflektif terus menjadi nyawa peneliti HSR guna mewujudkan sistem kesehatan yang berkeadilan.

Reporter: Mentari Widiastuti (Divisi PH)

 

Link Terkait

 

Reportase Hari Pertama

Senin, 25 November 2024

25nov 1

Pembukaan

Hari pertama kursus kebijakan (25/11/2024) dimulai dengan pembukaan. Pada sesi pembukaan acara, beberapa sambutan disampaikan oleh perwakilan dari berbagai institusi. Sambutan pertama disampaikan oleh Associate Professor Nopphol Witvorapong, Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand, yang memberikan ucapan selamat datang kepada para peserta yang hadir dari berbagai negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Selanjutnya, Associate Professor Chantal Herberholz, Direktur Pusat Unggulan Ekonomi Kesehatan di Fakultas Ekonomi, Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand, memberikan sambutan atas nama Pusat Unggulan Ekonomi Kesehatan dan menjelaskan terkait pusat ekonomi kesehatan yang didirikan sejak 1993 dan bergerak dalam bidang penelitian, pengajaran dan pelatihan.

Kemudian, sambutan terakhir disampaikan oleh Professor Laksono Trisnantoro, Direktur ANHSS dan Profesor Kebijakan serta Manajemen Kesehatan dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Laksono menyampaikan ucapan selamat datang atas nama ANHSS. Acara ANHSS sebelumnya diadakan di Hong Kong dan kini berlangsung di Bangkok dengan dihadiri sekitar 40 peserta dari berbagai negara seperti China, Hong Kong, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.

Fokus utama Asia-Pacific Network for Health Systems Strengthening (ANHSS) adalah membahas reformasi sistem kesehatan pasca COVID-19 yang mengungkap kelemahan seperti ketidaksetaraan akses dan rendahnya kesiapan menghadapi krisis global. Workshop ini bertujuan meningkatkan kualitas, efisiensi, dan ketahanan sistem kesehatan. Tahun depan (2025), acara akan digelar di Hongkong untuk Private Health Insurance Policy, di Shanghai dengan tema Kebijakan Health Technology Assessment (HTA), dan di Kuala Lumpur untuk Health Finance Transformation. 

25nov 5

 

 

SESI PAGI

Tantangan bagi keterlibatan sektor swasta dalam sistem kesehatan untuk perawatan primer dalam menghasilkan perawatan kesehatan terpadu

Panel ini menghadirkan 3 pembicara tamu utama, yaitu Dr. Athaporn Limpanylers, Wakil Sekretaris Jenderal dari Kantor Keamanan Kesehatan Nasional Thailand; Dr. Watchai Charunwatthana dari Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand; serta Dr. Eduardo P. Banzon, Spesialis Kesehatan Utama dari Departemen Regional Asia Tenggara di Asian Development Bank.

25nov 2Dr. Athaporn Limpanylers memberikan gambaran komprehensif tentang evolusi kemitraan antara sektor publik dan swasta dalam penyediaan layanan kesehatan primer di Thailand, khususnya dalam konteks program Universal Coverage Scheme (UCS), mulai dari awal kerja sama pada 2003 hingga inovasi terbaru pada 2024. Kemitraan ini berawal dengan melibatkan rumah sakit swasta sebagai mitra pemerintah dalam pelayanan primer.

Pada 2019, National Health Security Office (NHSO) memperkuat akses dan kualitas layanan dengan penyediaan fasilitas kesehatan yang lebih merata. Selama pandemi COVID-19 (2020-2022), kolaborasi semakin meningkat melalui perluasan partisipasi apotek dan klinik swasta. Pada 2024, program inovatif "30-Bath Treatment Anywhere" diperkenalkan untuk meningkatkan keterjangkauan dan aksesibilitas layanan kesehatan di seluruh Thailand.

Kemitraan sektor swasta dalam Universal Coverage System (UCS) memiliki peran strategis untuk mengurangi beban fasilitas pemerintah, memanfaatkan sumber daya secara efisien, dan meningkatkan kualitas pelayanan. Contohnya, sektor swasta dapat menyediakan layanan dasar seperti imunisasi hingga perawatan khusus. Namun, tantangan seperti distribusi layanan yang tidak merata, insentif bagi sektor swasta, dan kendali mutu tetap perlu diatasi. Program seperti "30-Bath Treatment Anywhere" menunjukkan komitmen untuk memperluas layanan kesehatan, mengurangi kesenjangan akses, dan menciptakan sistem kesehatan yang inklusif serta berkelanjutan.

25nov 3Selanjutnya adalah pemaparan dari Dr. Watchai Charunwatthana yang menjelaskan jika sistem kesehatan di Thailand telah mengalami evolusi signifikan sejak 1970-an. Dekade-dekade awal merupakan pembentukan struktur dasar seperti komunitas kesehatan nasional dan pergeseran menuju inisiatif kesehatan berbasis komunitas. Dekade-dekade berikutnya berfokus pada pengembangan sumber daya manusia, peningkatan akses layanan kesehatan, dan desentralisasi manajemen kesehatan. Tonggak penting termasuk pengenalan program Sukarelawan Kesehatan Desa (VHV), perluasan cakupan asuransi kesehatan, dan pembentukan sistem kesehatan distrik.

Model kesehatan primer Thailand ditandai dengan penekanan kuat pada partisipasi masyarakat, pencegahan, dan desentralisasi. Integrasi dukun tradisional dan penggunaan luas VHV menunjukkan pendekatan unik dalam penyampaian layanan kesehatan. Model ini juga menyoroti pentingnya kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Aspek utama termasuk fokus pada promosi kesehatan, pencegahan penyakit, dan penggunaan data untuk pengambilan keputusan.

Meskipun telah mencapai kemajuan signifikan, sistem kesehatan Thailand masih menghadapi tantangan berkelanjutan, termasuk kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta kebutuhan investasi berkelanjutan dalam sumber daya manusia. Pandemi COVID-19 telah menyoroti pentingnya sistem kesehatan yang tangguh dan adaptif. Masa depan sistem kesehatan Thailand harus diperkuat dengan sistem informasi kesehatan, mempromosikan perawatan terintegrasi, dan mengatasi beban penyakit tidak menular yang meningkat. Pengalaman Thailand menawarkan pelajaran berharga bagi negara lain yang ingin meningkatkan sistem kesehatan primer mereka.

25nov 4Pembicara tamu berikutnya ialah Dr Eduardo P. Banzon dari Asian Development Bank yang menyampaikan terkait Hambatan dalam Optimalisasi Sektor Kesehatan Swasta. Pemerintah menghadapi beberapa kendala utama dalam memanfaatkan sektor kesehatan swasta. Dua diantaranya ialah kapasitas regulasi dan pembelian pemerintah yang masih lemah. Selain itu, ekspektasi sektor swasta sering kali tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, khususnya terkait paket manfaat dan mekanisme pembayaran. Klinik pelayanan primer swasta yang berskala kecil dan beroperasi secara independen juga menjadi tantangan, mengingat keterbatasan kapasitas manajemen dan kurangnya integrasi atau koordinasi dengan rumah sakit.

Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan pendekatan berbeda dalam memperkuat sistem kesehatan. Jepang dan Eropa dikenal dengan regulasi yang ketat serta kapasitas pembelian yang tinggi. Di Indonesia, pendekatan dilakukan melalui skema kapitasi berbasis kinerja yang dikombinasikan dengan pembayaran berbasis layanan tertentu. Filipina menerapkan undang-undang yang mewajibkan pemerintah bermitra dengan sektor swasta, mengadopsi model dari Thailand. Selain itu, beberapa negara seperti India, Kolombia, dan Filipina mengembangkan sistem penyedia layanan kesehatan swasta yang terintegrasi, menghubungkan rumah sakit dengan fasilitas perawatan primer. Model jaringan klinik pelayanan primer swasta juga menjadi bagian dari perkembangan ini. 

 

 

Reporter: Monita Destiwi dan Ester Febe (PKMK UGM)
Editor: Laksono Trisnantoro (PKMK UGM)

Link Terkait

 

 

 

Hari keempat: The 8th Global Symposium on Health Systems Research

Kamis, 21 November 2024

Governance and Institutional Frameworks

Sesi pleno hari ini berfokus pada tantangan dalam membangun tata kelola kesehatan yang efektif di era modern, di mana kemajuan teknologi, serta perubahan politik dan beban penyakit terjadi secara cepat. Panelis memaparkan topik seputar kolaborasi lintar sektor, dinamika pasar, dan transformasi digital, serta bagaimana ketiganya membentuk sistem kesehatan yang adil dan berkelanjutan di tengah berbagai dinamika. Mengambil pengalaman-pengalaman di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, panelis dalam sesi ini terdiri atas Profesor Kelley Lee (Simon Fraser University), Dr Suwit Wibulpolprasert (Kementerian Kesehatan Thailand), Profesor Daniel Maceira (Center for the Study of State and Society, National Council of Scientific Research, University of Buenos Aires), dan Dr Parfait Uwaliraye (Financing Alliance for Health).

hsr 22Sebagai pembicara pertama, Lee memberikan gambaran umum tentang tantangan sistem kesehatan di tengah kemajuan teknologi, serta perubahan politik dan pasar. Lee menjelaskan bagaimana determinan komersial yang didorong oleh internasionalisasi perdagangan dan kapital, ekspansi korporasi, dan adanya demand untuk pertumbuhan ekonomi dapat memengaruhi kesehatan dan lingkungan. Di samping itu, partisipasi masyarakat dalam pemerintahan juga penting bagi tata kelola sistem kesehatan.

Lee mengambil contoh negara Swiss, di mana kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan relatif lebih tinggi dibandingkan temuan di negara-negara Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) lainnya. Hal ini terjadi karena masyarakat memiliki wadah untuk berpartisipasi aktif yang didukung dengan sistem two chambers, one parliament. Selanjutnya, Lee mengatakan bahwa pemerintahan dapat menggunakan kemajuan teknologi sebagai daya ungkit untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, misalnya melalui intelligent chatbots untuk dialog interaktif atau platform diskusi kolektif online.

 

hsr 22Panelis kedua, yakni Wibulpolprasert menjelaskan beberapa prinsip tata kelola yang baik (good governance), yakni partisipatoris, transparan, akuntabel, adil, dipimpin oleh hukum, dan efisien.  Untuk mencapai keenam prinsip ini, diperlukan komitmen dari semua pihak yang terlibat dalam mekanisme tata kelola, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat sipil (OMS), sektor swasta, dan komunitas. Selain itu, semua pihak perlu bekerja secara kolaboratif.

Wibulpolprasert mengambil contoh Thailand sebagai studi kasus, di mana terdapat National Health Foundation dan National Health Commission yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Komisi ini melibatkan berbagai aktor, termasuk partai politik, akademisi, dan masyarakat sipil. Menutup paparannya, Wibulpolprasert kembali menegaskan bahwa prinsip tata kelola yang baik harus menjadi landasan dalam membangun sistem kesehatan yang inklusif dan berkelanjutan.

 

hsr 22Selanjutnya, Maceira memberikan penjelasan dan pandangannya tentang kolaborasi antar sektor dalam sistem kesehatan. Pada dasarnya, kolaborasi antar sektor dapat dibagi menjadi kolaborasi vertikal dan horizontal. Maceira mengambil tiga negara di Amerika Latin sebagai studi kasus. Maceira menjelaskan bahwa kawasan Amerika Latin memiliki karakteristik distribusi pendapatan yang tidak merata dan hal ini memengaruhi bentuk sistem kesehatannya. Pembiayaan dan tata kelola sistem kesehatan di kawasan tersebut juga melibatkan berbagai aktor yang menciptakan sebuah dinamika yang kompleks.

Di samping itu, organisasi sistem kesehatan di kawasan ini memiliki struktur yang rumit, termasuk menyangkut skema perlindungan sosial. Sektor swasta juga memainkan peran kunci dalam hampir semua konfigurasi sistem kesehatan. Kolaborasi antar sektor menjadi hal yang esensial untuk menciptakan sistem kesehatan yang adil dan berkelanjutan dan mencapai kesehatan masyarakat yang lebih baik.

 

hsr 22Panelis terakhir adalah Uwaliraye yang menjelaskan tentang peran pasar dan transformasi digital untuk sistem kesehatan yang berkualitas dan berkelanjutan. Menurutnya, salah satu tantangan utama sistem kesehatan adalah keengganan sektor swasta untuk berinvestasi pada riset dasar. Uwaliraye juga menyoroti bahwa transformasi digital kesehatan sering kali dipandang sebagai program spesifik, bukan sebagai pendorong sistem kesehatan secara keseluruhan dan mengarah pada pendanaan vertikal.

Oleh karena itu, negara seharusnya tidak hanya berperan sebagai fasilitator, tetapi juga sebagai pengambil risiko utama yang menciptakan inovasi-inovasi baru, seperti produksi vaksin, penggunaan drone untuk memperlancar rantai pasokan, dan pengembangan kecerdasan buatan dengan berinvestasi pada pendidikan, infrastruktur, dan riset dasar. 

Sesi dilanjutkan dengan tanya-jawab dengan peserta di ruangan. Sesi ini memunculkan bahasan-bahasan mengenai kolaborasi global untuk memperkuat tata kelola investasi dan mengurangi risiko intervensi yang terlalu jauh dari korporasi. Uwaliraye mengatakan bahwa berbagai kerangka telah disusun untuk hal ini dan komunitas sistem kesehatan perlu melibatkan pemilik atau penyelenggara bisnis untuk mengoperasionalkan kerangka ini. Lee menekankan perlunya instrumen untuk mengukur conflict of interest. Sementara itu, Wibulpolprasert mengatakan bahwa komunitas sistem kesehatan tidak boleh menghindari politik karena politik menentukan siapa-memperoleh-apa-dan-bagaimana. Sejatinya hubungan intersektoral adalah politik dan untuk membuatnya berjalan dengan baik, diperlukan rasa saling percaya antar pihak yang terlibat.

Reporter:
Mentari Widiastuti (Divisi PH)

 

Link Terkait

 

 

Hari ketiga: The 8th Global Symposium on Health Systems Research

 Selasa, 20 November 2024

Inclusion in Times of Peace and Conflict

Sesi pleno hari ini menyoroti permasalahan pemerataan kesehatan dalam konteks krisis dan konflik. Sesi ini menghadirkan empat orang pembicara, yakni Dr Seita Akihiro (director of health, UNRWA), Profesor Papaarangi Reid (The University of Auckland), Dr Walter Flores (direktur eksekutif CEGSS Guatemala), dan Rosemary Mburu (direktur eksekutif WACI Health).

hsr 15Akihiro sebagai pembicara pertama menceritakan pengalamannya ketika melakukan kunjungan ke Gaza, Palestina sebanyak tiga kali. Akihiro menyaksikan bagaimana situasi dapat berubah dengan sangat cepat dan menyebabkan terganggunya sistem kesehatan. Namun, di tengah kekacuan tersebut, ia menyaksikan sebuah momen harapan.

Pada hari kampanye polio, Akihiro menyaksikan antrean panjang warge di pusat Gaza yang menunggu giliran untuk memvaksin anak-anak mereka. Kampanye ini menjadi kampanye polio pertama sejak konflik dimulai dan kegiatan imunisasi tersebut merupakan momen di mana keluarga-keluarga dapat keluar rumah dengan merasa aman untuk pertama kalinya. Menurut Akihiro, hal tersebut menunjukkan bahwa harapan dan solidaritas tetap hidup di tengah konflik.

 

hsr 15Sebagai pembicara kedua, Reid memaparkan tentang kekerasan sistemik terkait kolonisasi. Kolonisasi menyebabkan terjadinya perbudakan, dehumanisasi, dan pengklaiman sumber daya masyarakat asli, sebagaimana yang dialami oleh bangsa Maori di Selandia Baru dan orang-orang asli di Australia.

Kolonisasi mengabaikan keberadaan masyarakat asli yang telah lebih dulu hidup, tinggal, dan menjaga alam di wilayah tersebut dalam waktu yang lama. Reid menegaskan bahwa desain sistem kesehatan harus dirancang menjadi lebih adil dan setara, serta mencerminkan nilai-nilai masyarakat yang dilayaninya.

Reid melemparkan sebuah pertanyaan untuk direnungkan, yakni, “Apakah kira membutuhkan perubahan radikal untuk mendesain ulang sistem kesehatan? Atau, lebih jauh lagi, apakah kita perlu mengubah nilai-nilai sosial yang mendasarinya? Menutup pemaparannya, Reid menekankan bahwa sistem kesehatan dapat benar-benar menjadi inklusif hanya jika sistem tersebut memprioritaskan keadilan dan kesetaraan.

 

hsr 15Selanjutnya, Flores dari Guatemala mengajak seluruh peserta untuk merenungkan kembali sebuah pertanyaan mendasar, yakni, “Siapa yang menentukan bahwa sesuatu disebut konflik atau perdamaian? Untuk siapa perdamaian ditujukan?” Flores mengatakan bahwa kekerasan dapat muncul dari kurangnya akses terhadap kebutuhan dasar, seperti keamanan dan air bersih.

Selain itu, komunitas yang termarjinalkan mengalami berbagai bentuk kekerasan setiap harinya, namun mereka jarang dilibatkan dalam diskusi-diskusi terkait perdamaian. Flores juga mengatakan bahwa tidak ada kategori absolut tentang perdamaian dan konflik.

Kedua konsep ini sepenuhnya bergantung pada dinamika kekuasaan. Pihak yang berada di posisi dominan sering kali mendefinisikan konflik dan perdamaian sesuai dengan kepentingan mereka, tanpa mempertimbangkan pengalaman dan suara kelompok rentan. Menutup pemaparannya, Flores menegaskan bahwa memahami perdamaian sejatinya adalah merangkul keberagaman perspektif dan memastikan semua proses berjalan dengan inklusif.

 

hsr 15Pembicara keempat, Mburu, membuka paparannya dengan sebuah pertanyaan perenungan,”hard-to-reach groups or hard-to-reach services?” Kelompok-kelompok yang dianggap sebagai hard-to-reach sering dikecualikan dari riset. Selain itu, sistem kesehatan juga dapat berkontribusi pada peningkatan ketimpangan sosial.

Sementara itu, kurangnya akses ke pelayanan kesehatan juga dapat mendorong individu dan komunitas semakin dalam ke jurang kemiskinan dan menghambat inklusi finansial dan sosial. Mburu juga mengkritik bahwa sistem kesehatan kerap gagal memberikan penghormatan, melindungi, dan memenuhi hak atas kesehatan. Hal ini berakibat pada rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan reformasi yang mendalam untuk mencapai sistem kesehatan yang betul-betul inklusif.

Sesi pleno dilanjutkan dengan pandangan panelis terhadap inklusivitas sistem kesehatan, terutama di waktu krisis, dalam sebuah gambar. Masing-masing panelis menampilkan satu gambar dan menceritakan bagaimana gambar tersebut mewakili pandangan mereka akan sistem kesehatan yang inklusif. Flores, misalnya, menampilkan salah satu kegiatan organisasinya di Guatemala dan menjelaskan bahwa participatory action research adalah salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas dan otonomi komunitas dalam hal check and balance serta memahami resiliensi dan perubahan iklim. Sementara itu, Reid membagikan foto haka, sebuah tarian seremonial di Selandia Baru yang menyiratkan bahwa kita semua harus terus menerus berjuang untuk menciptakan sistem kesehatan yang inklusif.

Sesi pleno ditutup dengan beberapa pesan kunci tentang peran health policy and systems research dalam hal konflik dan perdamaian. Salah satu pesan kunci tersebut adalah pentingnya meningkatkan kapasitas peneliti untuk memahami secara mendalam konteks komunitas sebelum menarik kesimpulan atau merancang intervensi. Pendekatan ini dipercaya dapat membuat sistem kesehatan menjadi lebih adil dan responsive terhadap kebutuhan masyarakat yang dilayaninya.

Reporter:
Mentari Widiastuti (Divisi PH PKMK FK-KMK UGM)

Link Terkait

 

 

Hari kedua: The 8th Global Symposium on Health Systems Research

Selasa, 19 November 2024

Sesi Pagi

Research that should matter at Primary Health Care level: linking demand and supply in Asia Pacific

Hari kedua HSR2024 diisi dengan kegiatan seminar, diskusi panel, dan peningkatan kapasitas. Hari ini juga menandai pembukaan resmi kegiatan HSR2024 di Nagasaki yang diisi dengan sesi pleno. Reportase ini mendokumentasikan berbagai kegiatan yang merupakan bagian dari rangkaian hari kedua HSR2024.

Salah satu kegiatan di hari kedua adalah sesi satellite bertajuk “Advancing learning systems for health in the Asia-Pacific Region through health policy and systems research”. Sesi ini berisi pemaparan dan diskusi kelompok. Sesi ini menghadirkan empat pemapar dari beragam institusi.

Pembukaan

hsr 7Sesi ini dibuka oleh Dr Nima Asgari, direktur Asia Pacific Observatory (APO). Dalam pemaparannya, Asgari memperkenalkan APO sebagai suatu kemitraan yang mendukung evidence-informed health system policy di tingkat kawasan maupun nasional. Lebih jauh lagi, Asgari menjelaskan lima klaster tematik APO, yakni (1) Primary Health Care (PHC) untuk mendukung pencapaian Universal Health Coverage (UHC); (2) ketahanan sistem kesehatan; (3) kesehatan digital (memanfaatkan teknologi dan data untuk meningkatkan hasil kesehatan); (4) Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK), yang dirancang untuk kebutuhan kini dan nanti; serta (5) ketimpangan dalam kesehatan (aspek gender dan inklusi sosial dan aspek hard-to-reach). Untuk memperkuat kolaborasi, APO mendorong keterlibatan organik berbagai pihak melalui penyelenggaraan acara dan prakarsa, termasuk pembentukan local chapters yang melibatkan peneliti, organisasi kebijakan kesehatan, lembaga penelitian, pekerja kesehatan, pembuat kebijakan lokal, dan pemerintah.

Pembicara pertama

hsr 7Pembicara pertama pada sesi ini adalah Manoj Jhalani, direktur Health Systems Development, WHO SEARO. Jhalani membuka paparannya dengan menggambarkan pelajaran penting dari pandemi COVID-19, yakni bahwa investasi awal dalam fondasi PHC untuk kesiapsiagaan dan respons adalah hal yang penting. Pandemi juga menegaskan pentingnya efisiensi PHC dalam mencapai UHC, keterlibatan komunitas, serta kolaborasi multisektoral. Komitmen politik terhadap PHC sebagai dasar UHC telah mendapat momentum, dimulai dari deklarasi Menteri Kesehatan Asia Tenggara pada bulan September 2021, yang menyebut pandemi sebagai pendorong transformasi sistem kesehatan berbasis PHC. Deklarasi ini diperkuat dalam pertemuan UNGA 2023, KTT G20, hingga Delhi Declaration pada Oktober 2023 yang menegaskan PHC sebagai elemen kunci UHC. Berbagai negara di kawasan Asia Tenggara juga telah memprioritaskan PHC dan menerbitkan kebijakan pendukung. Selain itu, Forum PHC, seperti yang baru-baru ini digelar di Jakarta, memfasilitasi pertukaran praktik baik antarnegara, memperkuat budaya sistem kesehatan yang terus belajar dan berinovasi sesuai konteks lokal.

Pembicara kedua

hsr 7Sesi dilanjutkan dengan pemaparan dari Lluis Vinyals Torres, direktur Health Systems and Services WHO WPRO. Torres mengawali paparannya dengan menekankan kebutuhan terhadap PHC. Model pelayanan kesehatan yang ada saat ini tidak mampu menangani volume perawatan yang timbul terkait dengan tingginya beban penyakit tidak menular (PTM) dan ageing population. Isu perawatan jangka panjang, yang membutuhkan tenaga kerja dan model layanan yang memadai, juga perlu menjadi perhatian utama dalam konteks populasi yang menua. Torres juga mengatakan bahwa dengan ekonomi Asia Tenggara yang tumbuh pesat dan masyarakat yang semakin sadar akan kesehatan, PHC harus lebih responsif dan mampu membangun hubungan saling percaya yang berkelanjutan antara pasien dengan penyedia layanan kesehatan. Perubahan-perubahan ini menuntut pendekatan baru dalam mengorganisasi PHC untuk memastikan kebutuhan kesehatan terpenuhi secara efektif.

Torres memberikan contoh area tematik produksi pengetahuan yang relevan dengan tujuan di atas. Dalam konteks SDMK, selain terkait dengan ketersediaan dan maldistribusi, hal yang tidak kalah penting untuk dikaji adalah ketiadaan data dasar SDMK. Terkait dengan sistem informasi, fragmentasi sistem dan tingginya beban pengisian data menjadi isu. Torres menekankan bahwa pertukaran pengetahuan perlu terjadi antarnegara maupun antar unit dalam negara (misalnya provinsi). Dalam hal supply chain, isu mendasar yang diamati oleh Torres adalah bahwa kesehatan seringkali diatur oleh mekanisme pasar yang mempengaruhi ketersediaan item-item yang, kendati esensial, dianggap tidak mendatangkan keuntungan komersial. Torres menutup pemaparannya dengan memberikan pesan kunci bahwa pengetahuan yang diproduksi perlu diterjemahkan dan dikomunikasikan pada pembuat kebijakan, sehingga peran perantara kebijakan sangat dibutuhkan.

Pembicara ketiga

hsr 10Pembicara terakhir dalam sesi ini adalah Dr Jasper Tromp dari National University of Singapore School of Public Health. Tromp memaparkan hasil kajiannya tentang lanskap penelitian PHC di Asia Tenggara (SEAR) dan Pasifik Barat (WPR) dan potensi menutup kesenjangan antara produksi pengetahuan dengan implementasi. Studi ini menggunakan metode systematic mapping artikel ilmiah yang dipublikasi dalam 10 tahun terakhir dalam bahasa Inggris atau Cina, diikuti dengan presentasi hasil awal dan workshop untuk mendiskusikan hasil tersebut.

Studi ini menemukan bahwa publikasi penelitian PHC di SEAR dan WPR meningkat sejak tahun 2014 dan mencapai puncaknya pada kisaran tahun 2020. Jika didisagregasi per negara, penelitian sebagian besar berasal dari Australia, China, dan India, diikuti oleh Malaysia, Selandia Baru, Singapura, dan Jepang. Beberapa negara, seperti Maladewa dan negara-negara Pasifik memiliki jumlah publikasi yang sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali. Fokus penelitian di negara berpenghasilan tinggi (HIC) cenderung pada PTM, sementara negara berpenghasilan menengah dan rendah (LMIC) lebih banyak meneliti kesehatan ibu dan anak (MCH). Studi ini juga menemukan bahwa sebagian besar penelitian memiliki fokus penyampaian layanan, namun belum banyak yang berfokus pada sistem informasi kesehatan, kepemimpinan dan tata kelola, serta pembiayaan kesehatan. Pendanaan penelitian PHC di negara HIC didominasi oleh sumber domestik, sementara di LMIC dan negara-negara kepulauan Pasifik (PIC), proporsi pendanaan domestik jauh lebih rendah. Outcome penelitian sebagian besar berfokus pada kualitas dan efektivitas layanan., sementara outcome terkait keselamatan, akses atau cakupan layanan, serta responsivitas layanan belum banyak tersentuh.

Studi ini mengidentifikasi beberapa faktor yang menjadi tantangan dalam produksi penelitian PHC yang berkualitas. Pertama, penelitian sering kali tidak menjadi prioritas pembuat kebijakan dan lebih didorong oleh mitra pembangunan eksternal. Oleh karena itu, prioritas nasional untuk penelitian PHC perlu ditetapkan. Kedua, SDMK, terutama di fasilitas kesehatan, sering kekurangan waktu dan sumber daya untuk melakukan penelitian. Mengaitkan penelitian PHC dengan jenjang karier dianggap dapat menjadi solusi alternatif. Ketiga, pembatasan regulasi dan struktur penelitian, termasuk akses terbatas ke Institutional Review Boards (IRB), juga menjadi tantangan. Terakhir, terdapat kesenjangan signifikan antara peneliti dan orang-orang yang bekerja di lapangan, sehingga pertanyaan penelitian sering tidak relevan atau tepat waktu. Untuk mengatasi ini, diperlukan penguatan hubungan antara pemerintah, akademisi, klinisi, dan konsumen melalui community of practice dan kolaborasi penelitian. Selain itu, studi juga memberikan rekomendasi pendanaan domestik yang selaras dengan prioritas nasional untuk mendukung produksi penelitian PHC yang berkualitas.

Ketiga sesi ini kemudian diakhiri dengan sesi tanya-jawab dan diskusi berkelompok. Pada sesi tanya jawab, muncul pembahasan tentang diskoneksi antara peneliti dengan orang-orang yang bekerja di lapangan, tekanan politis untuk mengatasi permasalahan di lapangan, dan pentingnya pendekatan interdisiplin. Dalam kegiatan diskusi kelompok, timbul bahasan-bahasan tentang hal-hal yang mendukun kolaborasi dan penyelarasan riset PHC di tingkat nasional berdasarkan pengalaman berbagai negara. Konsep konsorsium PHC yang ada di Indonesia mendapatkan perhatian dari para peserta. Sesi ditutup dengan perenungan terkait kebijakan berbagi data riset PHC dan peninjauan kembali peran dan posisi seorang perantara kebijakan.

 

Reporter:
Mentari Widiastuti  (Divisi PH, PKMK FK-KMK UGM)

 

Link Terkait

 

 

 

 

  • angka jitu
  • togel 4d
  • togel online
  • toto macau
  • rtp live slot
  • togel online
  • toto macau
  • bandar togel 4d
  • slot dana
  • toto sdy
  • slot 5000
  • toto slot
  • slot gacor
  • togel sidney
  • live draw sgp
  • slot 5000
  • slot 5000
  • bandar togel
  • slot 5000
  • toto macau
  • bandar slot
  • toto togel
  • togel4d
  • togel online
  • togel 4d
  • slot 5000
  • slot 5000
  • rajabandot
  • toto macau
  • data toto macau
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • judi online
  • nexus slot
  • toto slot
  • agen slot
  • toto 4d
  • polototo
  • slot dana
  • slot777
  • slot777
  • scatter hitam
  • slot777
  • slot thailand
  • bandar slot
  • situs slot
  • slot88
  • slot777
  • slot777
  • scatter hitam
  • toto slot
  • toto slot
  • slot demo
  • slot777
  • KW
  • slot online
  • slot gacor
  • slot88
  • slot